tentang bima




Sejarah dana mbojo


Suatu daerah pasti mempunyai asal usul tersendiri, budaya, dan sejarah masing-masing. begitu juga pun dengan Daerah Bima yang dulu pernah merupakan sebuah kerajaan yang swapraja selama lima atau enam abad sebelum lahirnya Republik Indonesia. Sejarah kerajaan Bima hanya diketahui secara dangkal, disebabkan terutama karena pemerintah Belanda boleh dikatakan tidak menaruh minat terhadap Bima, asal keamanan dan ketertiban tidak terganggu. Namun dari Dua sumber lain dapat ikut menjelaskan perkembangan sejarah Bima.


Pertama, ilmu arkeologi yang selama ini hanya mengungkapkan segelintir peninggalan yang terpisah-pisah. Namun ilmu arkeologi itulah yang barangkali akan berhasil menentukan patokan-patokan kronologi terpenting dari masa prasejarah sampai masa Islam. Kedua, sejumlah dokumen dalam bahasa Melayu yang ditulis di Bima antara abad ke-17 sampai dengan abad 20. Bahasa Bima merupakan bahasa setempat yang dipakai sehari-hari di Kabupaten Bima dan Dompu (nggahi Mbojo). Bahasa tersebut jarang, dan sejak masa yang relatif muda, digunakan secara tertulis. Beberapa teks lama yang masih tersimpan dalam bahasa tersebut, tertulis dalam bahasa Arab atau Latin. Tiga jenis aksara asli Bima pernah dikemukakan oleh pengamat-pengamat asing pada abad ke-19, tetapi kita tidak mempunyai contoh satu pun yang membuktikan bahwa aksara tersebut pernah dipakai. Oleh karena itu bahasa Bima rupanya tidak pernah menjadi bahasa tertulis yang umum di daerah tersebut. Pada jaman dahulu, bahasa lain pernah digunakan.
Dua prasasti telah ditemukan di sebelah barat Teluk Bima, satu agaknya dalam bahasa Sanskerta, yang lain dalam bahasa Jawa kuno. Selanjutnya bahasa Makassar dan bahasa Arab kadang-kadang dipakai juga. Ternyata sejak abad ke-17 kebanyakan dokumen tersebut resmi ditulis di Bima dalam Bahasa Melayu.
Tulisan di atas dikutip dari buku Kerajaan Bima dalam Sastra dan Sejarah, karya Henry Chambert-Loir penerbit Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, 2004.



Bo Sangaji Kai



Bo Sangaji Kai
Kedatangan Pangeran Bernard dan Duta Besar Belanda Van Dongen ke Bima pada 1984 membidani kelahiran kembali Bo Sangaji Kai
Kala itu, Hajjah Siti Maryam Salahuddin, salah satu putri Sultan Bima terakhir Muhammad Salahuddin, diminta pemerintah untuk mempersiapkan semacam pameran benda-benda peninggalan Kerajaan Bima.
Maka, berbagai senjata, perhiasan emas dan permata dikeluarkan. Tapi Maryam merasa tidak puas. "Rasanya ada yang kurang tanpa kehadiran kitab Bo Sangaji Kai," ujar anak ketujuh dari sembilan bersaudara itu.
Dia kemudian mulai melakukan pencarian. Tidak sia-sia, akhirnya berhasil dikumpulkan dua peti naskah kuno. "Berserakan di mana-mana. Ada di banyak lemari dan banyak tempat di istana. Halamannya pun kacau, bahkan bagian terakhir ada yang rusak," cerita Maryam.
Naskah kuno yang dikenal dengan sebutan Bo Sangaji Kai itu pun dipamerkan. Menyedot perhatian Pangeran Bernard dan Van Dongen. Mereka, kata Maryam, tidak tertarik dengan emas permata. Bo Sangali Kaijustru menjadi favorit.
Dalam sebuah pertemuan, Pangeran Bernard bertanya, "Apakah Anda sudah mempunyai kopi naskah untuk berjaga-jaga jika hilang atau rusak?" Maryam tersentak, menjawab jujur, belum.
"Saat itu saya malu sekali. Mengapa orang asing yang peduli dengan peninggalan Bima? Siang itu, saya langsung ke pasar mengopi semua naskah. Tapi tidak selesai karena terlalu banyak hingga membuat mesin fotocopy rusak. Akhirnya proses itu dilanjutkan di Mataram, Lombok," kenang Maryam yang sudah puluhan tahun tinggal di Mataram, hingga harus bolak-balik Mataram-Bima.
Kini, kopian naskah kuno sudah tersebar di beberapa tempat. Antara lain Perpustakaan Nasional dan museum di Belanda. Maryam masih menyimpan naskah asli.
Bo Sangaji Kai merupakan naskah kuno yang ditulis ulang pada abad 19. Antara lain menggunakan kertas dari Belanda dan China. "Ahli kertas pasti tahu karena di setiap lembarnya tercantum merek kertas yang digunakan," papar Maryam.
Terlepas dari itu, kerajaan di daerah yang kaya kuda ini memang punya tradisi kuat mencatat dan menyalin kejadian. Dilakukan terus-menerus selama berabad-abad. Terakhir ditulis dalam bahasa Arab Melayu. Perubahan dari aksara Bima ke Arab dilakukan setelah Islam masuk Bima. Dalam naskah tersebut tertulis, menggunakan `bahasa yang diridhoiAllah'.
Itulah sekelumit kisah kelahiran kembali Bo Sangaji Kai Keberadaannya menyentak ahli arkeologi dan filologi dunia. Di antaranya Henry Chambert Loir, filolog dari Prancis. Dia sangat terkejut ketika diberi tahu ada dua peti naskah kuno Bo Sangaji Kai. Gairah keilmuannya langsung memuncak.
Henry mendatangi Maryam. Bersama-sama mereka melakukan penelitian, kemudian melahirkan buku berjudul Bo Sangaji Kai Catatan Kerajaan Bima. Diterbitkan Ecole Francaise d'Extreme Orient bekerja sama dengan Yayasan Obor. Buku itu merupakan sumbangan besar dalam dunia sejarah. Namun, pekerjaan belum selesai. Jalan masih panjang. Sampai sekarang, banyak naskah kuno Bima yang belum tersentuh. (S-1)
Posted by firmansyahat 7:06 PM0 comments 

Seni dan Budaya

Pacoa Jara (Pacuan Kuda)
Pacuan Kuda atau dalam bahasa Bima disebut “Pacoa Jara” tampaknya makin marak di Bima. Paling tidak pacuan kuda diselenggarakan 2 kali setahun, yaitu pada hari-hari besar seperti Hari Proklamasi (Agustus) dan Hari Pemuda (Oktober). Pacuan kuda ini dilaksanakan dalam bentuk kejuaraan, bahkan melibatkan juga peserta dari daerah lain, Dompu, Sumbawa, hingga dari Lombok. Yang menarik, hadiah bagi jawara pacuan kuda ini tidak sedikit, sehingga banyak peminatnya. Hadiah pertama antara lain sebuah sepeda motor + sepasang anak sapi + hadiah lainnya. Setiap peserta membayar biaya pendaftaran sebesar Rp 150.000,- Jika ternyata kalah dan keluar, peserta yang penasaran bisa mendaftar lagi. Nah, untuk satu periode pacuan, jumlah pendaftar ini bisa mencapai 800 hingga 1000 peserta! Selain di Panda, arena pacuan ada juga di kota Bima dan di Sila.
Ntumbu (Adu Kepala)
Salah satu budaya bima yang masih bertahan dan terus dikembnangkan adalah adu kepala. Buaya dan sekalugus keseniaan ini berlokasi di Kecamatan Wawo Kabupaten Bima. Tradisi yang sudah berumur sama dengan keberadaan daerah bima ini tidak sembarang orang dapat memainkannya. Hal ini karena perlu dipelajari secara serius dan mendalam melalui seorang guru. Sehingga tidak heran, hanya terdiri dari beberapa orang saja yang mampu memerankan tradisi tersebut. Belum lama ini digelar budaya adu kepala di halaman Kantor Bupati Bima dan mendapat prehatian luas dari masyarakat, termasuk turis manca negara.

Rawa Mbojo (Lagu daerah Bima)

Posted on Januari 27, 2008. Filed under: lagu, mbojo, rawa | Tags: , , , , |
Menyebarkan Lagu, atau segala kreasi cipta orang tanpa meminta izin atau lisensi dari yang berhak, saya sadari sebagai sebuah pembajakan hak cipta. Tapi banyak orang yang membutuhkan lagu-lagu daerah untuk bernostalgia, mengingat kenangan dan nuansa daerah sendiri, sekaligus memperkenalkan heritage daerah Bima keseluruk pelosok dunia. Semoga niat saya dapat diamaklumi dan bermanfaat bagi kita semua.
Kumpulan lagu daerah bima yang ingin saya bagi pada semua saudaraku pecinta Rawa Mbojo sebenarnya banyak, tapi pada kesempatan ini, biarlah satu album dulu. Lainnya menyusul. Ingat, Link dibawah ini valid setidaknya sampai 3 bulan sejak tanggal penulisan, kalaupun nanti expired atau semacamnya, saya akan update lagi linknya.

Sejarah dan Asal Usul Daerah Bima

10
museum mbojo sebagai salah satu bukti adanya kerjaan di Bima
museum mbojo sebagai salah satu bukti adanya kerjaan di Bima
Suatu daerah pasti mempunyai asal usul tersendiri, budaya, dan sejarah masing-masing. begitu juga pun dengan Daerah Bima yang dulu pernah merupakan sebuah kerajaan yang swapraja selama lima atau enam abad sebelum lahirnya Republik Indonesia. Sejarah kerajaan Bima hanya diketahui secara dangkal, disebabkan terutama karena pemerintah Belanda boleh dikatakan tidak menaruh minat terhadap Bima, asal keamanan dan ketertiban tidak terganggu. Namun dari Dua sumber lain dapat ikut menjelaskan perkembangan sejarah Bima. Pertama, ilmu arkeologi yang selama ini hanya mengungkapkan segelintir peninggalan yang terpisah-pisah. Namun ilmu arkeologi itulah yang barangkali akan berhasil menentukan patokan-patokan kronologi terpenting dari masa prasejarah sampai masa Islam. Kedua, sejumlah dokumen dalam bahasa Melayu yang ditulis di Bima antara abad ke-17 sampai dengan abad 20. Bahasa Bima merupakan bahasa setempat yang dipakai sehari-hari di Kabupaten Bima dan Dompu (nggahi Mbojo). Bahasa tersebut jarang, dan sejak masa yang relatif muda, digunakan secara tertulis. Beberapa teks lama yang masih tersimpan dalam bahasa tersebut, tertulis dalam bahasa Arab atau Latin. Tiga jenis aksara asli Bima pernah dikemukakan oleh pengamat-pengamat asing pada abad ke-19, tetapi kita tidak mempunyai contoh satu pun yang membuktikan bahwa aksara tersebut pernah dipakai. Oleh karena itu bahasa Bima rupanya tidak pernah menjadi bahasa tertulis yang umum di daerah tersebut. Pada jaman dahulu, bahasa lain pernah digunakan.
Dua prasasti telah ditemukan di sebelah barat Teluk Bima, satu agaknya dalam bahasa Sanskerta, yang lain dalam bahasa Jawa kuno. Selanjutnya bahasa Makassar dan bahasa Arab kadang-kadang dipakai juga. Ternyata sejak abad ke-17 kebanyakan dokumen tersebut resmi ditulis di Bima dalam Bahasa Melayu.
Tulisan di atas dikutip dari buku Kerajaan Bima dalam Sastra dan Sejarah, karya Henry Chambert-Loir penerbit Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, 2004.

Makanan Khas Bima


Tumi Sepi (Tumis Udang Rebon) Sepi adalah makanan khas Bima yang terbuat dari udang rebon (anak udang yang sangat kecil yang di Bima disebut Sepi Bou). Udang rebon difermentasi dengan garam saja sehingga mengeluarkan aroma khas. Bahan-bahan yang dibutuhkan * 2 sendok makan Sepi * 1 ruas jari lengkuas * 1 lembar sereh * 2 genggam kemangi * 1 sendok makan minyak goreng * 100ml air Bumbu-bumbu (Semuanya diiris-iris) * 10 butir bawang merah * 5 siung bawang putih * 1 buah tomat ukuran besar * 7 buah belimbing sayur * 5 buah cabe keriting * 1-15 buah cabe rawit biarkan utuh * Garam secukupnya * Gula pasir ½ sendok teh Cara Membuatnya * Panaskan minyak, tumis semua bumbu yang sudah diiris masukkan daun sereh dan lengkuas setelah harum masukkan Sepi, garam secukupnya dan gula pasir, masukkan 100ml air, * aduk-aduk terus hingga matang. * Sebelum diangkat masukkan cabe rawit dan kemangi biarkan cabe rawit layu setelah itu angkat. * Siap dihidangkan dengan lalaban. * Cocok dihidangkan bersama sayur asam atau sayur bening. SEPI bisa juga dikonsumsi langung tanpa dimasak terlebih dahulu. Tambahkan cabe rawit (potong-potong) dan air jeruk purut, lebih sedap bila kulit jeruk purut diiris-iris dicampurkan dengan SEPI (sebelumnya jeruk purut dimemarkan dulu untuk membuang rasa getir). Atau juga bisa dicampurkan dengan mbohi dungga (sambal parado). Mangge Mada (Gulai Jantung Pisang) Bahan-bahan yang dibutuhkan * 1 buah jantung pisang kepok * 1 genggam kelapa parut (sangrai lalu dihaluskan) * 1 gelas santan kental dari 1 kelapa * 300gr udang (rebus tampa air, buang kulit dan kepalanya) * 1 butir jeruk nipis (ambil airnya) Bumbu-bumbu (potong-potong sesuai selera) * 5 buah cabe keriting * 7 butir bawang merah * 5 buah belimbing wuluh * Garam secukupnya Cara Membuatnya * Siangi jantung pisang (ambil bagian putihnya) * Rebus sampai matang, angkat dan tiriskan, dipotong-potong lalu diperas (buang air getirnya) * Campurkan dengan potongan cabe, bawang merah, belimbing dan kelapa gongseng serta garam. * Masukkan santan dan air jeruk nipis, * terakhir masukkan udang yang sudah direbus. *Udang dapat digantikan dengan : Cumi atau Ikan Pari yang dipindang atau Cingur Sapi/Kulit yang dibakar terlebih dahulu* Uta Mbeca Ro'o Parongge (Sayur Daun Kelor) Bahan-bahan yang dibutuhkan * 3 ikat daun kelor (sebagai patokan: ikatan daun katuk) * 1 genggam tauge pendek * 1 ikat kangkung * 5 butir bamea (Okra, jenis sayuran banyak terdapat di Timur Tengah dan Pakistan) * 5 butir bawang merah (potong-potong) * 1 batang tamu kunci (potong-potong) * 2 liter air Bumbu-bumbu * Garam secukupnya * Gula secukupnya * Penyedap rasa sedikit bila suka Cara Membuatnya * Siangi daun kelor (rontokkan daunnya), kangkung dipotong sepanjang 2cm, bamea dipotong-potong sepanjang 1cm. * Campur dan cuci semua bahan-bahan kecuali bamea dicuci tersendiri. * Rebus dua liter air sampai mendidih, masukkan semua bahan kecuali okra yang dimakkan setelah beberapa menit untuk menghindari agar okra tidak terlalu berlendit. * Masukkan garam dan gula secukupnya, masak terus sampai sayur matang. * Angkat dan hidangkan dengan uta puru dan sambal dhocho mange.
Daftar Makanan Khas Bima Lainnya

Sumber : www.bimacenter.com

rumah adat bima


Uma Lengge Mbojo

Juni 15, 2010 at 1:21 pm (Beranda, Kepingan Sejarah Dan Budaya Bima)
Lengge merupakan salah satu rumah adat tradisional Bima yang dibuat oleh nenek moyang suku Bima(Mbojo) sejak zaman purba. Sejak dulu, bangunan ini tersebar di wilayah Sambori, Wawo dan Donggo. Khusu di Donggo terutama di Padende dan Mbawa terdapat rumah yang disebut Uma Leme. Dinamakan demikian karena rumah tersebut sangat runcing dan lebih runcing dari Lengge. Atapnya mencapai hingga ke dinding rumah. Namun saat ini jumlah Lengge  atau Uma Lengge semakin sedikit. Di kecamatan Lambitu, Lengge dapat ditemukan di desa Sambori yang berjarak sekitar 40 km sebelah tenggara kota Bima. Meskipun ada juga di desa lain seperti di Kuta, Teta, Tarlawi dan Kaboro dalam wilayah kecamatan Lambitu.

Di kecamatan Donggo juga terdapat Lengge. Meskipun memiliki sedikit perbedaan dengan Lengge Sambori maupun Lengge yang ada di Wawo. Secara umum, struktur Uma Lengge berbentuk kerucut setinggi 5- 7 cm, bertiang empat dari bahan kayu, beratap alang-alang yang sekaligus menuturpi tiga perempat bagian rumah sebagai dinding dan memiliki pintu masuk dibawah (Muslimin Hamzah, Ensiklopedia Bima Hal 161).
Uma Lengge terdiri dari tiga lantai. Lantai pertama digunakan untuk menerima tamu dan kegiatan upacara adat. Lantai kedua berfungsi sebagai tempat tidur sekaligus dapur. Sedangkan lantai ketiga digunakan untuk menyimpan bahan makanan seperti padi, palawija dan umbi-umbian. Pintu masuknya terdiri dari tiga daun pintu yang berfungsi sebagai bahasa komunikasi dan sandi untuk para tetangga dan tamu. Menurut Safiun (65 thn) warga Sambori, jika daun pintu lantai pertama dan kedua ditutup, hal itu menunjukan bahwa yang punya rumah sedang berpergian tapi tidak jauh dari rumah. Tapi jika ketiga pintu ditutup, berarti pemilik rumah sedang berpergian jauh dalam tempo yang relatif lama. Hal ini tentunya merupakan sebuah kearifan  yang ditunjukkan oleh leluhur orang-orang Bima. Ini tentunya memberikan sebuah pelajaran bahwa meninggalkan rumah meski meninggalkan pesan meskipun dengan kebiasaan dan bahasa yang diberikan lewat tertutupnya daun pintu itu. Disamping itu, tamu atau tetangga tidak perlu menunggu lama karena sudah ada isyarat dari daun pintu tadi.
Seiring perubahan zaman, Uma Lengge sudah banyak yang dipermark disesuaikan dengan kebutuhan masa kini. Atapnya sudah banyak yang terbuat dari seng. Fungsinya juga sudah banyak yang menjadi lumbung. Lengge-lengge yang ada di wawo saat ini sudah banyak yang difungsikan sebagai lumbung padi. Keberadaan lengge di kecamatan Wawo menjadi salah satu obyek wisata budaya di kabupaten Bima. Banyak wisatawan manca negara yang berkunjung ke Lengge Wawo untuk melihat dan meneliti tentang sejarah Uma Lengge.
Lengge Sambori juga merupakan salah satu aset dan obyek wisata desa adat yang telah dicanangkan oleh pemerintah Kabupaten Bima. Sambori terletak di lembah gunung Lambitu yang sejuk dan dingin tanpa polusi udara. Menurut penelian sejarah orang orang Sambori atau yang dikenal dengan nama Dou Donggo Ele dan orang-orang Donggo Ipa atau di kecamatan Donggo sekarang merupakan suku asli Bima. Tapi apakah orang-orang sambori dan Donggo sekarang adalah suku asli Bima? Saya tidak sependapat karena orang-orang Sambori dan Donggo yang ada sekarang telah mengalami perkawinan campuran dengan suku mbojo lainnya maupun suku-suku lain di Indonesia. Raut wajah mereka juga tidak seperti yang digambarkan oleh sejarahwan M. Hilir Ismail dengan ciri keningnya agak lebar, berewokan, mirip profil di Nusa Tenggara Timur. Sedangkan suku Mbojo sekarang merupakan pembauran dengan suku pendatang dari Jawa dan Makassar.
Tapi asumsi yang bisa dikembangkan  adalah orang-orang yang pernah mendiami wilayah pegunungan sekitar gunung La’mbitu( Donggo Ele) dan gugusan pegunungan soromandi( Donggo Ipa) adalah penduduk asli Mbojo(Bima). Mereka menyingkir karena terdesak oleh kaum pendatang, lari dari pemukiman mereka yang semula di pinggir pantai kemudian menuju dataran tinggi. Dalam bahasa Bima lama, Donggo itu berarti tinggi atau dataran tinggi. Sehingga mereka disebut dengan Dou Donggo yaitu orang-orang dari dataran tinggi.
Lengge Sambori dan Lengge Wawo adalah aset budaya Bima yang harus terus dirawat dan dijaga. Itu adalah warisan leluhur yang sangat berarti bagi generasi. Dia adalah titipan keluguan peradaban yang akan terus bercerita sampai anak cucu kita. Untuk kepentingan pariwisata dan PAD Daerah, sudah seharusnya promosi dan penataan dilakukan sehingga akan menarik minat orang untuk berkunjung baik dalam rangka berwisata budaya maupun peneliatian-penelitian ilmiah.  Daftar Bacaan : Ensiklopedia Bima, Muslimin Hamzah,  Buletin Bima akbar Pemkab. Bima, dan Buletin wisata Akbar).


from : blog, romantika bima
http://alanmalingi.wordpress.com
Pakaian tradisional

RIMPU

March 20th, 2010 | yadoen_cs
Rimpu, mungkin banyak yang belum familiar dengan kata ini. Ya,, ini bahasa Bima,, rimpu adalah model pakaian wanita muslim di Bima untuk menutup auratnya. Diperlukan 2 kain sarung untuk melilit seluruh tubuhnya. Satu sarung untuk bagian kepala menjulur hingga perut, menutupi lengan dan telapak tangan. Satu lainnya,, untuk dililitkan dari perut hingga ujung kaki (bahasa Bimanya: sanggentu).
26
Rimpu, menjadi cerminan masyarakat Bima yang menjunjung tinggi nilai keislaman, selain itu juga buat melindungi diri ketika beraktivitas di luar rumah.



situs sejarah

MAKAM RAJA TOLOBALI

March 20th, 2010 | yadoen_cs
Tolobali, salah satu situs makam raja. Situs ini terletak di tengah kampung. Makamnya luas dan terang, di tengah ada pohon besar. Kompleks makam raja dibatasi pagar besi. Di luar itu adalah makam-makam umum. Ada tiga makam utama, dua masih berkubah, satu terbuka. Makam-makam itu adalah makam Sultan Jamaluddin (sultan ke-4), Sultan Nuruddin (sultan ke-3) dan Sultan Abi’l Khair Sirajuddin (sultan ke-2).
21

MASJID SULTAN SALAHUDIN

March 20th, 2010 | yadoen_cs
1

MASJID TERTUA DI BIMA

March 20th, 2010 | yadoen_cs
32
Sebuah masjid tertua di Bima hingga kini masih bediri di Kelurahan Melayu Kecamatan Asakota, Kota Bima. Hanya saja, kondisi cagar budaya itu tak terurus dan hanya berfungsi sebagai Tempat Pendidikan Qur’an (TPQ) oleh warga setempat. Bahkan sejumlah benda bernilai sejarah tinggi raib. Pantauan Suara NTB, mesjid yang seluruh bangunannya terbuat dari kayu dan beratap seng itu masih berdiri kokoh diantara rumah penduduk. Konon masjid itu dibangun dua utusan Sultan Goa Sulawesi Selatan untuk mensyi’arkan Agama Islam di Bima.

MAKAM RAJA DANA TRAHA

March 20th, 2010 | yadoen_cs
4
Dana Traha adalah kompleks makam raja yang letaknya di atas bukit. Di kompleks pemakaman ini anda dapat melihat kuburan Sultan Bima Pertama yaitu Sultan Abdul Kahir, petinggi Kerajaan Bima antara lain – Abdul Sama Ompu Lamuni yang dulunya merupakan perdana menteri Kesultanan Bima, Sultan Bima kedua yaitu Sultan Abdul Khair Sirajuddin, kuburan Sultan Nurdin yang memerintah antara tahun 1682 – 1687, para mubaliq penyiar agama Islam di Bima, serta makam sultan Abdul Kahir II, putera dari Sultan Muhamamad Salahuddin.

refrensi : http://umalengge.blog.com/
Baca Selengkapnya →tentang bima