from : cafe novel.com
kau
Kau Menyendiri Duduk Dalam Gelap
Kau Pahat Langit Dengan Angan-angan
Kau Ukir Malam Dengan Bayang-bayang
Jangan Hanya Diam Yang Kau Simpan
Malam Yang Kau Sapa
Hanya Lewat Tanpa Jawab
Mengapa Harus Sembunyi Dari Kenyataan
Ungkapkan Isi Hatimu
Senandungkan Nyanyian Jiwamu
Agar Malam Menjadi Indah
Kau Pahat Langit Dengan Angan-angan
Kau Ukir Malam Dengan Bayang-bayang
Jangan Hanya Diam Yang Kau Simpan
Malam Yang Kau Sapa
Hanya Lewat Tanpa Jawab
Mengapa Harus Sembunyi Dari Kenyataan
Ungkapkan Isi Hatimu
Senandungkan Nyanyian Jiwamu
Agar Malam Menjadi Indah
Kau yang menyakiti ku
Kehadiranmu
Bawa kekosongan dalam hatiku
Tatapanmu
Bawa luka dalam maya
Senyum dan tawamu
Seakan bisa hentikan waktu
Ku terpaku tak sanggup melangkah
Hening dan selalu hening
Ku coba ‘tuk tertawa
Ku coba ‘tuk tetap terjaga
Tetap mata terpejam
Tetap senandung ‘tak terdengar
Kupandang Cuma hitam
Atau langit ‘tak punya warna?
Atau luka sebabkan musnah
Warna pelangi yang sempat tercipta
Bawa kekosongan dalam hatiku
Tatapanmu
Bawa luka dalam maya
Senyum dan tawamu
Seakan bisa hentikan waktu
Ku terpaku tak sanggup melangkah
Hening dan selalu hening
Ku coba ‘tuk tertawa
Ku coba ‘tuk tetap terjaga
Tetap mata terpejam
Tetap senandung ‘tak terdengar
Kupandang Cuma hitam
Atau langit ‘tak punya warna?
Atau luka sebabkan musnah
Warna pelangi yang sempat tercipta
Angan
Dalam keheningan malam
Terdengar sayup alunan nada
Membangkitkan angan-angan
Ekspresikan jiwa membelah malam
Ingin menguak rahasia di dalam dada
Membangkitkan angan-angan
Ekspresikan jiwa membelah malam
Ingin menguak rahasia di dalam dada
Seringkali ku bertanya pada diri ku
Ada apa dengan diri ku
Yang tak mampu ‘tuk ungkapkan
Galaunya segala rasa
Dan tak lagi sanggup
Menjelaskan lembar sketsa dalam jiwa
Yang tak mampu ‘tuk ungkapkan
Galaunya segala rasa
Dan tak lagi sanggup
Menjelaskan lembar sketsa dalam jiwa
Faint Pain
• Eka Dwibhakti
• Eka Dwibhakti
malam belia
kaki-kaki yang waras
pembicaraan yang pantas
nada lagu mulus meretas
kaki-kaki yang waras
pembicaraan yang pantas
nada lagu mulus meretas
malam penghabisan
di kota kelulusan
aku berniat menitis
sayonara yang manis
di kota kelulusan
aku berniat menitis
sayonara yang manis
padamu
titik merah di dunia abu-abuku
titik merah di dunia abu-abuku
aku menjelang,
kau lambaikan salam pulang
lalu bubar
perpisahan yang hambar
kau lambaikan salam pulang
lalu bubar
perpisahan yang hambar
tidak ada sayonara manis
pada malam penghabisan
setengah jam kemudian
aku tertunduk menangis
pada malam penghabisan
setengah jam kemudian
aku tertunduk menangis
malam yang renta
kaki-kaki merajalela
aku bergabung!
pembicaraan tercela
nada lagu menggila
aku berkabung....
kaki-kaki merajalela
aku bergabung!
pembicaraan tercela
nada lagu menggila
aku berkabung....
Sekedar Khayalan
by Chen Che Lie
menatap langit,
menggapai awan
menggapai awan
sekeping mimpi merangkai angan
akankah cinta hanya sekedar khayalan
bisakah aku jadikannya kenyataan?
akankah cinta hanya sekedar khayalan
bisakah aku jadikannya kenyataan?
tapi sanggupkah kuterima kenyataan
kalau cinta tak selalu seindah khayalan
mungkin biar cinta itu jadi khayalan
biar jangan lagi ada kesedihan
cintaku cuma sekedar khayalan
kalau cinta tak selalu seindah khayalan
mungkin biar cinta itu jadi khayalan
biar jangan lagi ada kesedihan
cintaku cuma sekedar khayalan
Ingatkah kau sore itu?
Gerimis berirama kemudian jadi hujan yang merajam bumi
Mengguyur seperti bandang yang datang dari surga
Cipratannya menggelitik dan genit
Lalu kita jadi penonton tak tahu malu
Tak mampu menahan diri
Seperti bocah di toko permen
Ingatkah kau hujan itu?
Istimewa seperti pasar malam yang penuh atraksi
Kita basah sampai ke tulang
Namun dingin tak buat kita biru, apalagi kelu
Baru kali itu kupercaya dunia penuh keajaiban
Air tumpah dari ember raksasa yang tak kasat mata
Kita berputar-putar dan menari diiringi irama hujan
Ingatkah kau bagaimana kita tertawa?
Lepas tak terbebani dosa apalagi usia
Hingga air penuhi mulut dan hidung
Kita rentangkan tangan dan dongakkan kepala
Menutup mata dan nikmati ritme yang manjakan indra
Kemewahan yang dibayar dengan influenza
Tak seberapa karena kutahu rasanya jadi merdeka dan bahagia
Aku adalah Tangis
by Monita Gunawan
Aku adalah tangis
yang melepas sedih
saat ia hinggap di hatimu
yang pudarkan gundah
saat ia sergap damaimu
yang halau takut
saat ia bayangi langkah harapmu
Aku adalah tangis
yang temani engkau
kala denyut haru rambati kalbu
kala bangga dan lega menyatu
juga kala bahagia selimuti jiwamu
Aku adalah tangis
Faint Pain
• Eka Dwibhakti
• Eka Dwibhakti
malam belia
kaki-kaki yang waras
pembicaraan yang pantas
nada lagu mulus meretas
kaki-kaki yang waras
pembicaraan yang pantas
nada lagu mulus meretas
malam penghabisan
di kota kelulusan
aku berniat menitis
sayonara yang manis
di kota kelulusan
aku berniat menitis
sayonara yang manis
padamu
titik merah di dunia abu-abuku
titik merah di dunia abu-abuku
aku menjelang,
kau lambaikan salam pulang
lalu bubar
perpisahan yang hambar
kau lambaikan salam pulang
lalu bubar
perpisahan yang hambar
tidak ada sayonara manis
pada malam penghabisan
setengah jam kemudian
aku tertunduk menangis
pada malam penghabisan
setengah jam kemudian
aku tertunduk menangis
malam yang renta
kaki-kaki merajalela
aku bergabung!
pembicaraan tercela
nada lagu menggila
aku berkabung....
kaki-kaki merajalela
aku bergabung!
pembicaraan tercela
nada lagu menggila
aku berkabung....
Dialog Taman Hati
by Monita Gunawan
Saat menghilang Embun menitikkan airmata,
namun biasnya tersamar di pendar miliar cahaya Matahari.
Kodratnya adalah keterikatan dengan alam
yang telah menggariskannya
dapat bertemu Rumput, kekasihnya
hanya saat fajar terbangun.
namun biasnya tersamar di pendar miliar cahaya Matahari.
Kodratnya adalah keterikatan dengan alam
yang telah menggariskannya
dapat bertemu Rumput, kekasihnya
hanya saat fajar terbangun.
Namun saat itulah ia hidup,
bahagia, bernapas, dan menjadi berarti.
Kilau, bias, dan cemerlangnya
menghiasi Semesta.
Walau hanya sejenak, meski kemudian terlupa,
ia akan tetap ada.
Senantiasa hadir di geliat jingga langit pagi
untuk menerima hadiah pelukan sang Rumput.
Rumput menangis pada saat Embun menguap menghilang,
namun basahnya abadi
tersamar kelembaban udara.
bahagia, bernapas, dan menjadi berarti.
Kilau, bias, dan cemerlangnya
menghiasi Semesta.
Walau hanya sejenak, meski kemudian terlupa,
ia akan tetap ada.
Senantiasa hadir di geliat jingga langit pagi
untuk menerima hadiah pelukan sang Rumput.
Rumput menangis pada saat Embun menguap menghilang,
namun basahnya abadi
tersamar kelembaban udara.
Kepergiannya meninggalkan
helai-helai kesejukan
yang akan selalu dinantikan setiap waktu.
helai-helai kesejukan
yang akan selalu dinantikan setiap waktu.
Rumput menggigil melalui malam,
melantunkan nyanyian kerinduan menunggu pagi
— masa dimana Embun, kekasihnya
datang, bertaut, dan bercumbu di saat fajar hingga pagi.
melantunkan nyanyian kerinduan menunggu pagi
— masa dimana Embun, kekasihnya
datang, bertaut, dan bercumbu di saat fajar hingga pagi.
Untuk itulah Rumput bertahan hidup,
bahagia,
bernapas,
dan menjadi berarti.
bahagia,
bernapas,
dan menjadi berarti.
Hujan
by Dwiyanita Saesarianti
menjelang siang itu
dari balik tirai
kutatap rumput hijau pepohonan
seakan damai tertebar ke relung jiwa ini
tak lama langit biru menjadi kelam
awan putih beranjak pergi
matahari entah kemana
dan titik titik air pun membasahi tanah
menebarkan bau bumi
dari balik tirai
kutatap rumput hijau pepohonan
seakan damai tertebar ke relung jiwa ini
tak lama langit biru menjadi kelam
awan putih beranjak pergi
matahari entah kemana
dan titik titik air pun membasahi tanah
menebarkan bau bumi
langit, apakah ini sindiran darimu?
mengapa kau menangis
seharusnya aku yang mengucurkan airmata
tangisan pedih karena cintaku beranjak pergi
tetesan kesedihan atas nama hati yang terluka
mengapa kau menangis
seharusnya aku yang mengucurkan airmata
tangisan pedih karena cintaku beranjak pergi
tetesan kesedihan atas nama hati yang terluka